Sabtu, Februari 09, 2013

bosan

semua orang berbicara tentang nilai, kebanyakan orang berteriak tentang norma dan budaya. lantas pertanyaan yang kian mencuat adalah "kemana hilangnya sang norma itu?". ada yang menjawab "manusia sekarang tidak berbudi" atau "manusia sekarang tidak mengenal norma dan nilai". lantas sebagian lagi menjawab "aaahh...omong kosong apa lagi ini?" atau "ah...gak penting!". saya, seperti biasa. diam, tanpa suara tanpa ekspresi tanpa gerakan.
mau apa lagi?? bosan dengan isu-isu yang bunyinya gitu-gitu aja. judulnya itu itu aja.... orang-orang mulai sibuk menilai orang lain ketimbang dirinya sendiri. bosan...

Jumat, Desember 07, 2012

ANTROPOLOGI EKOLOGI BARU (THE NEW ECOLOGICAL ANTHROPOLOGY) - AUTHOR : CONRAD P. KOTTAK


Ekologi-ekologi yang lebih lama dihilangkan dalam kesempitan horison temporal dan spasial mereka, asumsi-asumsi fungsionalisme mereka dan karakter apolitik mereka. Dengan menu dan asumsi-asumsi fungsionalis dan penekanan atas homoenstasis “antropologi ekologi baru” berada di dalam persimpangan sistem glonal, nasioanregional dan lokal yang mempelajari hasil interaksi dari beberapa level dan beberapa faktor. Inimencampurkan riset empiris dan teoritis dengan karya terapan, yang diarahkan padakebijakan dan kritik dalam apa yang Rappaort sebut sebagai antropologi “engaged” dan ditujukan pada aspek-aspek politik dan implikasi-implikasi proses-proses ekologis. Dengan menguraikan kritik secara hati-hati atas ekologi sebelumnya dengan mengumumkan pendekatan-pendekatan yang lebih baru, artikel ini menyatakan pentingnya mengakuimediasi-mediasi kultural dalam proses-proses ekologis, bukannya memperlakukan kultur sebagai perangkat epifenomenal atau hanya sebagai alat adaptif saja. Makalah ini ditutup dengan diskusi tentang metodologi yang tepat bagi antropologi ekologi baru.

Antropologi ekologi diberi nama demikian pada 1960an, tapi kebanyakan parapendahulunya antara lain Darull Forde, Alfred Kroeber dan khususnya Julian Steward. Ekologi kultural Steward mepengaruhi antropologi ekologi Roy Rappaport dan Andrew P Vayda, tapi unit analitis bergeser dari kultur ke populasi ekologis yang dipandang menggunakan kultur sebagai alat (alat-alat utama) adaptasi terhadap lingkungan. Columbia University bisa disebut sebagai tempat lahirnya antropologi ekologis dan materialisme kultural Marvin Harris yang menggambarkan banyak perhatian Steward terhadap perubahan kultur (Evolusi) inti seperti dalam ekologi budayanya. Lebih berorientasi diakronis dan komparatif, materialisme budaya berbagi kesamaan dengan antropologi ekologi dalam hal minat terhadap fungsi-fungsi adaptif fenomena kultura, termasuk agama (misalnya fokus Rappaort terhadap ritual dalam ekologi di sebuah masyarakat New Guinea dan analisis peran konservatoris adaptif doktrin ahimsa terhadap agama Hindu dengan refernsi khusus tehradap ekologi budaya binatang ternak sakral India).
Antropologi budaya 1960an dikenal karena teori sistem dan umpan balik negatifnya. Praktek-prakek budaya dipandang mengoptimalkan adaptasi manusia dalammempertahankan ekositem. Faktor-faktor yang mendorong kita untuk memikirkan kembali asumsi-asumsi lama saat ini antara lain pertambahan populasi dan arus transnasional orang-orang, perdagangan, organisasi dan informasi yang dimediasi oleh teknologi tinggi. Antropologi lingkungan, atau ekologis baru mencampur teori dengan kesadaran politik dan tentang persoalan keberpihakan. Ini berusaha memahami dan memberikan solusi-soulsi kultural terhadap problem-problem/isu-isu seperti kerusakan lingkungan, rasisme lingkungan dan peran media, NGO dan resiko lingkungan dalam menstimulasi kesadaran ekologis dan tindakan-tindakan yang diambil. Sementara mengakui bahwa sistem lokal dan regional bersifat permeabel, antropologi ekologi baru harus berhati-hati untuk tidak mengeluarkan peringatan dan bentuk kultural serta sosial khususnya dari kerangka analitis.
Berikut ini meninjau ciri-ciri utama antropologi ekologi lama dalam menyusun tahap untuk sebuah eskplorasi aspek-aspek penting dari antropologi ekologis baru yang muncul.

Antropologi ekologi lama dan unit-unit analisisnya
Antropologi ekologi pada tahun 1960an dikenal karena fungsionalisme, teori sistem dan fokusnya terhadap umpan balik negatif. Para antropolog menguji peran praktek-praktek dan keyakinan-keyakiann kultural yang memungkinkan populasi manusia mengoptimalkan adaptasi mereka tehradap lingkungan dan mempertahankan ekosistem regional dan lokal agar tidak rusak. Para ilmuwan menyerang antropologi ekologi dan materialisme kultural untuk serangkaian yang mengasumsikan kesalahan, termasuk pemikiran sirkular,memberikan stabilitas. pembedaan rappaort antara model pemikiran dan operasionalsering dikaitkan dengan etnosains, yang tumbuh dari linguistik tapi menjadi ekspresi laindari antropologi ekologi 1960an. Berkembang di Stanford, yale, pensylvania dan Berkeley, etnosains berfokus pada model pemikiran dan pengklasifikasian, dan mendapatkan kritik yang sama seperti yang diberikan pada antropologi ekologis.
Unit dasar antropologi ekologis di tahun 1960an adalah populasi ekologi dan ekosistem yang diperlakukan sebagai unit yang khusus dan bisa dipisahkan. Unit yang bisa dibandingkan untuk etnosains adalah domain etnosematnik (misalnnya etnobotani, etnozoologi, etnokehutanan). Asumsi-asumsi dari antropologi ekologi lama, sekarang menjadi problematik, jelas dalam beberapa definisi kuncinya yang paling penting adalah populasi ekologis dan ekosistem.
Rappaport mengartikan sebuah populasi ekologi sebagia “agregat organisme yang memiliki kesamana cara-cara khusus di mana mereka mempertahankan serangkaian hubungan material bersama di dalam ekosistem dimana mereka berpartisipasi” (1971a; 238). Beberapa unsur definisi ini harus dipertahankan dengan arus orang-orang, informasi dan teknologi kontemporer yang melintasi batas sosial dan budaya, seberapa khusus cara-cara adaptif kultural yang digunakan oleh suatu grup? Dengan fakta dan pengakuan akan meningkatnya diversitas dalam populasi, seberapa umum serangkaian hubungan material dengan ekosistem? Sebagian besar masyarakat saat ini tidak berpartisiasi hanya dalamsatu ekosistem.
Rappaport juga mengolongkan popualsi ekologis sebagia “kelompok-kelompok yangmengeksploitasi sumberdaya secara keseluruhan, atau hampir keseluruhan, dengan area-area batas tertentu  di mana anggota-anggota kelompok manusia lain dikeluarkan.” Demikain juga dia mengartikan ekosistem sebagai total organisme hidup dan zat-zat tak hidup terikat bersama-sama dalam pertukaran matrial di dalam bagian batas biosfer tertentu” (1971a; 238). contoh kasus Rappaport tentang populasi ekologi lokal adalah Tsembaga Maring, sebuah grup teritorial lokal yang terdiri atas 200 orang suku yang tinggal di New Guinea kolonial. Tapi dunia yang saat ini penuh dengan migrasi transnasional kota-desa, berapa banyak grup yang tinggal bergantung sepenuhnya pada sumberdaya lokal? Berapa banyak kelompok manusai yang tinggal dalam ekosistem yang berbatas jelas yang bebas dari campur tangan kelompok lain? Rappaort berhati-hatimengenali populasi dan ekosistem regional dan ekolgi lokal. Pada 1971 dia mencatatbahwa ekosistem lokal tidak berbatas tajam dan diskrimiansi mereka terpetak pada tujuan-tujuan analisis tertentu. Sehingga populasi ekologi lokal.. berpartisiapsi dalam sistem-sistem pertukaran regional yang terdiria atas beberapa atau banyak populasi lokal yang menemapti area geografis yang lebih luas (1971a; 251). Sebenarnya, artikuasli ekosistem regional dan lokal merupakan bagian penting dari catatan terkenal Rapaport tentang siklus ritual dalam konteks kesejahteraan dan pemakain lahan Maring. Tulisan Babi untukNenek Moyang: Ritual dalam Ekologi Masyarakat New Guinea (1968) menjadi studi kasus klasik tentang ekologi mansuia dalam masyarakat suku, peran kultur (khususnya ritual) dalam manajemen sumberdaya reigonal dan lokal, umpan balik negatif, dan aplikasi teori sistem terhadap poulasi antropologi.
Seberapapun pentingnya analisis Rappaport terhadap pemahaman adaptasi Maring, keterbatasan dari sebuah pendekatan untuk studi masyarakat-masyarakat yang lebih kompleks menjadi jelas bahkan pada tahun 1960an. Saya harus menghadapi mereka sebagaimana saya merencanakan studi ekologis saya sendiri terhadp Betsileo di Madagaskar, sebuah kelompok yang lebih padat dengan organisasi sosiopolitik yang jauh lebih kompleks. Dalam The Past in the Present: History, Ecoplogy, and Cultural ariation in Highland Madagascar (Kottak 1980), sebuah studi historis dan kompartis skala besar berdasarkan pada kerja lapangan yang dilakukan pada tahun 1966 dan 1967, saya berusaha menganalisis Betsileo secara ekologis – sektiar 800.000 orang yang tersebar di wilayah yang jauh lebih luas daripada Tsembaga Maring. Menggabungkan etnografi dengan teknik-teknik survey, saya mengevaluasi adaptasi ekologi (dari Betsilo dan orang Malagasy lain) dengan berofkus pada hubungan atau ikatan-iktan variabel materi yang saling berkaitan (korelasi antar waktu dan ruang) bukannya mencoba menentukan dan membatasi ekosistem lokal yang tepat. Kategori-kategori kondisi yang saya bahas meliputi aspek-aspek dari lingkungan fisik dan biotik dan faktor-faktor regional seperti perdagangan dan kemakmuran, tapi mereka juga memperluas peran stratifikasi dan negara dalam  menetukan akses diferensial terhadap sumberdaya yang dihargai asosial dan bersifat strategis. Analissi ekolgosi masyarkaat level negara tidak bisa sama sepertigerombolan atau suku.
Madagaskar juga menimbulkan pertanyaan hubungan antara kultur (kesukuan), ekologi dan negara. Fredrik Barth (1958, 1969) berpendapat bahwa khususnya ketika terdapat spesialisasi pertambahan pertukaran, konvergensi dan asimilasi gru-grup etnis tidak bisa dihindarkan; perbedaan-perbedaan etnis bisa dipertahankan. Saya mencatat bahwapergeseran etnis dan lingkungan yang kasar mungkin terjadi di Madagaskar. Misalnya ketika orang-orang berpindah ke area tertentu dari lokasi hutan timur Madagaskar, mereka menjadi Tanala, yang berarti “orang-orang hutan” (ini tidak lagi benar). Di sini, sebuah label etnis nampak berkorespondensi dengan perbedaan ekologis.
Tapi korespondensi tersebut tidak selalu benar di Madagaskar, di mana label-label etnis lebih bergantung pada situasi politik daripada lingkungan alam. Dalam kelompok-kelompoketnis yang besar dan padat (misalnya Betsileo, Merina, Sakavala), ada banyak variasi lingkungan, cara produksi, dan cara adaptasi juga eksistensi garis ekologi – daerah-daerah pergeseran grdual dari satu set variabel ekologis ke set yang lain – mempersulit untuk mengklaim korespondensi rapi antara kesukuan dan ekologi. Secara historis di madagaskar dan tempat lain, negara sering melakukan intervensi – menciptakan label-label etnis dan perbedaan-perbedaan yang mungkin berkaitan dengan ekologi.
Ini lebih jelas pada saat ini daripada selama tahun 1960an bahwa tidak ada ekosistem yang terpisah dan semua menyesuaikan berparitispasi dalam sebuah sistem dunia. Dalam konteks pertambahan populasi (lebih dari dua kali lipat sejak pertengahan 1960an), sebaran transnasional informasi, citra, orang-orang, perdagangan organisasi dan juga sistem teknologi kontemporer transportasi dan komunikasi, banyak asumsi dari antropologiekologi lama memerlukan pemikiran ulang.
Misalnya model pemikiran Rappaport memerlukan modifikasi. Dalam formulasinya, modelpemikiran mengacu pada interpretasi-interpetasi pribumi tentang dunia, serangkaian peraturan dan ekspektasi, menghargakan prisnip, konsep, makan dan nilai yang signifikan dengan pengemban budaya individu dan mencatat mengapa dia melakukan sesuatu. Orang-orang kontenmporer masih memiliki model-modepemikiran, tapi para antropolog harus semakin menduga di mana model-model tersebut berasal, bagaimana model-model tersebut disebarkan, sejauh mana mereka bersifat unik dan disebarDifusi bisa sama pentingnya dengan enkultural penciptaan dan transmisi model-model pemikirankontemporer. Ini nampak menjadi isu tentang antroplogi psikologi baru dan juga antropologi ekologi. 
Hal yang sama juga benar dalam model operasionalnya. Rappaport menggunakan istilah tersebut untuk menjelaskan abstraksi etnografedari analisis tentang apa yang dia pelajari; catatan perilaku pihak luar dan determinan, konteks dan hasil materialnya; dan interpretasipengamat terlatih mengapa orang-orang melakukan sesuatu dan spesifikasi batas-batasyang menentukan tindakan-tindakan indvidiu apa yang bisa ditoleransi tanpa merusak sistem yang menopangnya. Spesifikasi dimensi-dimensi tersebut dari model operasional nampak sama pentingnya saat ini seperti dengan satu generasi yang lalu. Dunia tumbuh menjadi lebih kompleks dan mungkin lebih sulit dipahami oleh sebagian besar penduduk pribumi. Para ilmuwan sosial memerlukan metode lebih baru untuk mempelajari kompleksitas dan banyaknya kekuatan, arus, dan pertukaran yang sekarang mempengaruhi orang-orang lokal dalam berbagai lingkungan mereka.

 Antropologi Ekologi baru
Perbedaan-perbedaan antara antropologi ekologi baru dan lama melibatkan kebijakan dan orientasi nilai, aplikasi, unit analisis, skala dan metode. Studi-studi dalam antropologi ekologi lama menyebutkan bawah penduduk pribumi melakukan pekerjaan yang masuk akal memelihara sumberdaya mereka dan memelihara ekosistem mereka; tapi studi-studi tersebut, yang mengandalkan pada norma relativisme kultural secara umum bertujuan untuk menjadi nilai netral. Sebaliknya, antropologi ekologi atau lingkugann baru mencampur teori dan analisis dengan kesadaran politik dan persoalan keberpihakan. Sub-sub bidang baru muncul, seperti antropologi ekologi terapan dan ekologi politik (Greenberg dan Park 1994).
Kita tidak bisa menjadi ilmuwan netral yang mempelajari model pemikiran dan model operasional dan peran manusia dalam mengatur pemanfaatan lingkungan ketika komunitas lokal dan ekosistem semakin terancam oleh agen-agen eksternal. Banyak antropolog menyaksikan ancaman terhadap orang-orang yang mereka pelajari – penebangan komersial, polusi lingkungan, radioaktivitas, rasisme lingkungan dan kasisme, ekosida danpembebanan sistem manajemen eksternal yang tidak sensitif terhadap ekosistem lokal yang sudah ditangani oleh para penduduk pribumi dengan baik selama berabad-abad. Dunia saat ini penuh dengan tindakan dan sikap-sikap neokolonial orang luar mengklaim dan merebut kontrol atas ekosistem lokal, mengambil tindakan yang mungkin merugikan penduduk lokal dalam jangka panjang. Berkaitan dengan mengusulkan dan mengevaluasi kebijakan, antropologi lingkungan baru tidak hanya berusaha memahami tapi juga mencurahkan solusi-solusi yang tepat dan diinformasikan secara kultural terhadap problem-problem dan isu-isu seperti kerusakan lingkungan, rasisme lingkungan dan peran Media, NGO, dan berbagai jenis resiko dalam memicu kesadaran, tindakan dan kebersinambungan ekologis.
Para antropolog lingkungan berfokus pada unit-unit analisis baru – nasional dan internasional, selain pada lokal dan regioal, karena level-level tersebut berbeda-beda dan berhubungan dalam ruang dan waktu. Dengan memasuki sebuah dialog dengan pemahaman sumberdaya alam dan lingkungan, perspektif komparatif antropologi menambah dimensi internasional pada pemahaman isu seperti keadilan lingkungan dan manamemen ekosistem – yang sudah dipelajari oleh para spesialis sumberdaya alamselama beberapa dekade, meski terutama berfokus pada USA > sebaliknya para antropolog menggunakan metode dan perspektif yang dikembangkan dalam negara-negara dan kultur-kultur lain untuk memahami isu-isu lingkungan di USA dan Kanada ketika Amerika Utara menjadi lahan yang subur bagi studi antropologi. Dan metode-metode baru – dari survei hingga pencitraan satelit – digunakan untuk menempatkan isu-isu ekologis dalam konteks yang jauh lebih besar, lebih dalam dan lebih luas dalam ruang dan waktu daripada pendekatan sistem terbatas pada tahun 1960an. Metodologi-metodologi dalam antropologi baru harus tepat dengan hubungan dan level kompleks yang menyusun dunia modern.
Perubahan-perubahan dalam antropologi ekologis mencerminkan tantangan-tantangan yang lebih umum dalam antropologi; pergeseran dari riset yang berfokus pada komunitas tunggal atau kultur, yang dipahami sebagai unik dan terpisah, untuk mengenali hubunganpersuasif dan arus orang-orang, teknologi, citra, dan informasi yang bermakna, dan untuk mengakui dampak kekuatan diferensial dan status dalam dunia postmodern pada entitas-entitas lokal. Dalam dalam antropologi ekologi baru, segalanya berada padskala yang lebih besar fokusnya tidak lagi mengutamakan pada ekosistem lokal. Pihak luar yang menerobos pada ekosistem lokal dan regional menjadi pemain kunci dalam analisis; ketika kontak dengan agen-agen dan agen-agen eksternal (misalnya imigran, pengungsi, pejuang, wisawatan, penegmbang) menjadi semakin umum para antropolog ekologi harus memberi perhatian pada organisasi-organiasi dan kekuatan-kekuatan eksternal yang saat ini mengklaim ekosistem regional dan lokal di seluruh dunia. Bahkan ditempat-tempat jauh, manajemen ekosistem saat ini melibatakn level-level ganda, misalnya di antara Antankarana dari Madagaskar utara (GEzon 1997), bebeapa level otorias mengklaim hak untuk menggunakan dan mengatur sumberdaya alam dan ekosistem lokal.

Isu-isu untuk antropologi ekologi baru
Satu kesimpulan tegas tentang antropologi ekologi dalam semua samarannya (misalnya antropologi ekologi Rappaoprt dan Vayda dan materialisme kultural Harris dan etnosains Berlin, Conklin, Frake dan Goodenough) adalah kelompok-kelompok pribumi memiliki cara-cara tradisional untuk mengkategorikan sumberdaya, mengatur penggunaan dan melestarikan lingkungan. Sebuah etnologi adalah serangkaian persepsi lingkungan tradisional masyarakat – yaitu model kultural lingkungan dan hubungannya dengan orang-orang dan masyarakat. Dunia saat ini menandai sebuah tingkat hubungan ekonomi dan politik yang tidak terkalahkan dalam sejarah global. Etnoekologi lokal ditentang, ditransformasikan dan diganti,. Migrasi, media dan industri menyebarkan orang-orang, institusi, nilai dan teknologi. Nilai-nilai dan praktek-praktek yang diimpor sering bertentangan dengan nilai-nilai dan praktek-praktek orang pribumi. Dalam konteks pertumbuhan populasi, migrasi, ekspansi komersial dan insentif nasional dan internasional merusak lingkungan, sistem-sistem etnoekologi yang menjaga lingkungan lokal dan regional selama berabad-abad semakin tidak efektif.

Benturan-benturan etnoekologi: developmetnalisme dan
environmentalisme
Ada dua etnologi tradisional yang menantang, berasal dari Euro-Amerika, etnoekologi: developmentalisme dan environmentalisme (kottak dan Costa 1993). Model-model ini memasuki banyak seting kultural, masing-masing dibentuk oleh kekuatan nasional, regional dan lokal tertentu. Karena komunitas inang yang berbeda memiliki sejarah dan tradisi yang berbeda, dampak dari kekuatan eksternal tidak universal atau searah. Sebaran dari developmentalisme atau environmentalisme selalu dipengaruhi oleh etnolgi nasionalregional dan lokal dan kekuatan adaptasi dan resistensi mereka.
Environmentalisme mencakup perhatian politik dan sosial dengan penipisan sumberdaya lama. Perhatian ini muncul dengan ekspansi model kultural (developmentalisme) yang dibentuk oleh ide-ide industrialisme, perkembangan dan over konsumsi. Kesadaranlingkungan muncul saat ini ketika kelompok-kelompok lokal beradaptasi terhadap kondisi-kondis baru dan terhadap model-model developmentalisme dan environmentalisme. Resiko yang diciptakan oleh pembangunan menjadi syarat-syarat penting untuk kemunculanpersepsi-persepsi  lingkungan baru. Pengaman lingkungan dan konservasi sumberdaya langka meurpakan tujuan-tujuan penting dari pespektif global, nasional jangka panjang dan bahkan lokal,. Strategi-strategi amelioratif harus diimplementasikan dalam jangka pendek dan dalam komunitas lokal.  Jika sumberdaya dan produk tradisional harus dirusak, dikeluarkan atau dihabiskan (apakah untuk pembangunan atau konservasi), mereka perlu diganti dengan alternatif yang tepat dan memasukan secara budaya.
Sebuah model mediasi etnologis muncul dari pertemuan terbaru antar etnologi lokal dan etnoekologi impor, yang merespon pada perubahan-perubahan kondisi. Pembangunan berkesinambungan bertujuan untuk menimbulkan perubahan yang sensitif secara ekologsi dan tepat. Ini memediasi antara tiga model yang sudah dibicarakan: etnoekologikal tardisional, environmentalisme, dan developmentalisme. Kebersinambungan/keberlanjutanmenjadi mantra dalam wacana di sekitar perencanaan konservasi dan proyek pembangunan, tapi kasus-kasus jelas dari pembangunan berkesinambungan yang sukses masih sedikit.
Isu-isu yang dibahas oleh antropologi ekologi baru muncul pada persinggungan atanra sistem global, nasional, regional dan lokal dalam sebuah dunia yang bukan hanya oleh benturan model-model kultural juga Negara-negara gagal, perang regional dan meningkatnya kekacauan hukum,. Orang-orang lokal, pandangan mereka, ide-ide mereka, nila-nilai mereka dan sistem-sistem manajemen tradisional mereka diserang dari semua sisi. Orang luar berusaha membentuk kembali bentang pribumi dan kultur pribumi dalam citra mereka sendiri. Tujuan dari banyaknya proyek pembangunan pertanian nampak berupa membangun dunia semirip mungkin dengan peluang bersaing dengan pertanianmekanis dan kepemilikan keluarga inti – meski fakta bahwa model-model tersebutmungkin tidak tepat di luar USA tengah. Proyek-proyek pembangunan sering gagal ketika mencoba menggantikan bentuk-bentuk asli dengan konsep-konsep properti dan unit-unit produktif asing. Yang juga problematik adalah filsaat intervensi modern yang berusahamembebankan moralitas ekologi global tanpa perhatian pada variasi kultural dan otonomi. Negara-negara dan kultur mungkin menentang filosofi intervensionis yang bertujuan pada pembangunan atau environmentalisme yang berorientasi global.
Sebuah benturan budaya yang berhubungan dengan perubahan lingkungan bisa terjadi ketika pembanguann mengancam orang-orang pribumi dan lingkungan mereka. Kelompok-kelompok pribumi seperti Kayapo dari Brazil bisa diancam oleh rencana pembangunan regional, nasional dan internasional ( seperti pembangunan dan deforestrasi untuk tujuan komersialisasi ) yang akan menghancurkan tempat tinggal mereka. Benturan budaya kedua berkaitan dengan perubahan lingkungan yang terjadi ketika aturan ekternal mengancam masyarakat pribumi. Sehingga kelompok-kelompok pribumi seperti Tanosy dari Madagaskar tenggara, bisa terancam oleh rencana lingkungan internasional, nasional dan regional yang berusaha menyelamatkan tempat tinggal mereka kadang-kadang pihak luar mengharap orang-orang lokal menyerahkan banyak aktivitas kultural dan ekonomi adat mereka tanpa pengganti, alternatif atau insentif yang jelas. Sebuah pendekatan tradisional terhadap konservasi adalah membatasi akses ke area-area terlindung, menyewa pelindung taman dan menghukum para pelanggar.
Problem biasanya muncul ketika aturan eksternal menggantikan sistem pribumi. Seperti proyek-proyek pembangunan, skema-skema konservasi bisa meminta orang-orang untukmengubah cara mereka melakukan sesuatu selama beberapa generasi untuk memuaskan tujuan perencana bukannya tujuan lokal. Dalam masyarakat lokal seperti Madagaskar, Brazil dan Pacific Nortwes dari Amerika Utara, orang-orang diminta, diberitahu atau dipaksa untuk mengubah atau mengabaikan kegiatan-kegiatan ekonomi dasar mereka karena melakukannya dianggap baik untuk alam atau dunia. Kaum environmentalis dari negara-negara utara semakin menekankan moralitas ekologi kepada dunia memunculkan isu-isu nasional dan otonomi lokal. “Baik untuk bumi” tidak berperan baik di Brazil di mana Amazon menjadi fokus perhatian environmentalis. Orang-orang Brazil mengeluhkan bahwa orang-orang dari Utara berbicara tentang kebutuhan global dan menyelamatkan Amazon hanya setelah mereka merusak hutan-hutan mereka sendiri untuk pertumbuhan ekonomi Dunia Pertama. Akbar Ahmed (1992) menemukan dunia non Barat sinis tentang moralitas ekologi Barat, yang memandangnya sebagai peran imperialis lain. Upaya konservasi yang bermakna bagus bisa tidak sensitif  seperti skema-skema pembangunan yang mendukung perubahan radikal tanpa melibatkan orang-orang lokal dalam merencanakan dan menjalankan kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi mereka. Ketika orang-orang diminta menyerahkan dasar kehidupan mereka, mereka biasanya menentang.
Pertimbangkan kasus seorang tanosy yang tinggal di sisi suaka Andohahela Madagaskar tenggara. Selama bertahun-tahun dia mengandalkan pada lahan padi dan tanah ladang di dalam suaka tersebut. Sekarang agen-agen eksternal memintanya untuk mengabaikan lahannya demi konservasi. Pria ini adalah seorang ombiasa kaya (dukun tradisional). Dengan empat istri, lusinan anak dan dua puluh kepala ternak, dia merupakan petani yang ambisius, bekerja keras dan produktif. Dengan uang, dukungan sosial dan otoritas supernasional dia menyampaikan eksitensi efektif melawan penjaga taman yang mencoba memintanya mengabaikan lahannya. Ombiansa ini mengklaim dia siap membebaskan beberapa lahannya tapi dia menunggu lahan pengganti. Resistensi paling efektifnya bersifat supranatural. Kematian anak penjaga disebut sebagai akibat kekuatan magic ombiasa. Setelah itu penjaga ini kurang keras dalam upaya memaksanya.

Konservasi biodiversitas
Konservasi biodiversitas menjadi isu dalam ekologi politik, salah satu sub bidang antropologi ekologi baru. Skema-skema konservasi terebut bisa memberi gagasan-gagasan yang sangat berbeda tentang hak dan nilai tumbuhan dan binatang versus nilai dan hak manusia. Di Madagaskar, banyak intelektual dan pejabat direpotkan oleh anggapan bahwaorang asing nampak lebih memperhatikan lemur atau spesies yang terancam punah lainnya daripada keprihatinan mereka terhadap orang-orang Madagasar. Sebagaimana disebutkan seorang kolega di sana “lain kali kamu datang ke Madagaskar, tidak akan ada lagi orang Malagasy. Semua orang akan kelaparan sampai mati, dan lemur akan menyambut anda di bandara.” Sebagaimana besar orang malagasy menganggap kemiskinan manusia sebagai problem yang lebih kuat daripada survival tumbuhan atau binatang.
Di sisi lain, menerima ide bahwa memelihara biodiversitas global merupakan tujuan yangberharga, satu peran utama untuk antropologi ekologis terapan adalah mencurahkan strategi yang secara budaya tepat dan sensitif secara sosial untuk menapai konservasibiodiversitas dalam menghadapi pertumbuhan populasi dan ekspansi komersial. Bagaimana orang lokal mendukung langkah-langkah konservasi biodiversitas yang mungkin mengurangi akses mereka ke sumberdaya yang bernilai secara asosial dan strategis.
Saya adalah salah satu dari beberapa antropolog sosial yang melakukan analisis kelayakan sosial untuk proyek pembangunan dan konservasi. Proyek-proyek terebut bertujuan melestarikan sumberdaya alam dan biodiversitas sementara mendukung kesejahteraan manusia melalui pembangunan. Pengalaman saya dalam mendesain komponen proyek SAVEM (Sustainable and Viable Environmental Management) yang bagus secara sosial bertujuan memelihara biodiversitas di Madagaskar, menyatakan bawha startegi spesifik tempat dan sensitifitas serta gradual kemungkinan bisa suskes. Kebijakan konservasi bisamendapatkan manfaat dari penggunaan model proses pemberdayaan yang fleksibel daripada staregi blueprint yang kaku. Pendekatan yang saya rekomendasikan untuk Madagaskar melibatkan mendengarkan orang-orang yang terkena dampak di seluruh proses untuk meminimalkan kerugian mereka. Orang-orang lokal dilatih sebagai para antropolog untuk memantau dengan cermat persepsi-persepsi dan reaksi-reaksi orang-orang pribumi selama terjadinya perubahan.
Seperti rencana-rencana pembangunan secara umum, strategi konservasi yang paling efektif memperhatikan kebutuhan dan harapan orang-orang yang tinggal di area target. Konservasi bergantung pada kerjasama dan partisipasi lokal. Dalam kasus Tanosy yang disebutkan di atas, para pelindung luar suaka perlu melakukan lebih banyak untuk memasukan orang-orang yang terkena dampak, melalui penyesuaian batas, negosiasi dan kompensasi. Untuk konservasi efektif (seperti untuk pembangunan efektif) tugasnya adalah mencurahkan strategi-strategi yang tepat secara budaya. Baik agen pembangunan atau NGO tidak akan sukses jika mereka mencoba menyampakaikan tujuan-tujuan mereka tanpa mempertimbangkan praktek-praktek, adat, peraturan, hukum, keyakinan dan nilai-nilai orang yang terkena dampak.
Alasan untuk pelestarian harus dijelaskan dengan cara-cara yang bisa dipahami oleh orang-orang lokal. Kami di Madagaskar menemukan bahwa nilai ekonomis hutan untuk pertanian (sebagai mekanisme anti erosi dan cadangan air irigasi potensial) memberi insentif yang jauh lebih kuat melawan degradasi hutan daripada tujuan-tujuan global seperti “melestarikan biodiversitas.” Sebagian besar orang Malagsy tidak punya ide bahwa lemur atau spesies endemik lain hanya ada di Madagskar. Pengetahuan tersebut juga tidak memberi banyak insentif bagi mereka untuk melestarikan hutan jika melakukannya akan mengancam kehidupan mereka.
Dalam jangka panjang jutaan orang Malagsy menunggu untuk mendapatkan manfaat dari konervasi hutan. Gambaran ini meliputi urban, yang bergantung pada area-area hutan untuk air dan listrik dan juga orang–orang di pedalaman yang penanaman apadiaya akanterganggu oleh meningkatnya erosi dan berkurangya air resapan. Pada 1990 dan 1991 rekan saya dan saya menemukan bebearpa desa di utara Madagaskar mengenali hubungan antara deforestasi dan menurunnya air tanah. Kesadaran ekologis mereka muncul secara perlahan,. Orang-orang di pedalaman mulai menyadari bahwa air irigasi menjadi lebih langka setelah hutan-hutan di sekitar mereka ditebang.

Kesadarn ekologi dan persepsi resiko lingkungan
Peran terapan (engaged dalam istilah Rappaport (1994)) dari antropolog ekologi saat ini bisa menjadi agen atau pendukung perencana dan agen kebijakan yang bertujuan untuk pelestarian atau perbaikan lingkungan atau pembela bagi oprang-orang yang secara aktual atau berpotensi beresiko melalui sejumlah gerakan dan paksaan, termasuk developmentalisme dan environmentalisme. Satu peran R&D untuk antropolog ekologi saat ini adalah mengukur tingkat dan sifat dari kesadaran ekologis dan aktivitas dalam berbagai kelompok dan untuk menggabungkan bagian-bagian model etnoekologi pribumi untuk memperbaiki pelestarian lingkungan.
Bersama para kolega Brail Alberto Cota dan Rosane Prado, saya meneliti persepsi resiko lingkungan dan hubungannya dengan tindakan di beberapa tempat di Brazil. Asumsi-asumsi kami adalah meski orang-orang tidak akan bertindak untuk memelihara lingkungan jika mereka tidak merasakan ancaman terhadapnya, perspesi resiko tidak menjamin tindakan tersebut. Riset kami mencoba menjawab beberapa pertanyaan: Seberapa sadar orang-oarng terhadap resiko lingkungan? Bagaimana mereka akan meresponnya? Mengapa beberapa orang mengabaikan resiko nyata sementara beberapa lagi merespon bahaya kecil dengan ketakutan kuat? Bagaimana persepsi resiko ini berkaitan dengan tindakan yang bisa mengurangi ancaman terhadap lingkungan dan kesehatan?
Asumsi kunci yang mendasari riset Brazil kami adalah sebagai berikut meski kehadiran resiko aktual meningkatkan persepsi resiko, perspesi tersebut tidak muncul secara tak terhindarkan melalui analisis resiko rasional. Malahan persepsi resiko muncul dalam konteks kultural, politik dan ekonomi yang dibentuk oleh pertemuan di antara etnoekologi lokal, etnoekologi yang diimpor (seringkali disebarkan oleh media) dan kondisi yang berubah (termasuk pertumbuhan populasi, migrasi dan ekspansi industri).
Kesadaran lingkungan dibuktikan di brazil segera sebelum dan sesudah Earth Summit satu UNCED yang diselenggarakand I Rio de Janeiro pada JUni 1992. Kesadaran ekologi dimunculkan oleh media, khususnya televisi dimana Brazil dipaparkan dengan baik dengan jaringan tv komersial yang paling luas, Globo. Environmentalisme Brazil mulai tumbuh pada pertengahan tahun 1980an yang merefleksikan kembalinya debat publik bersama dengan demokrasi abertura, glasnot Brazil, setelah dua dekade pemerintahan militer. Environemtanlisme brazil, terkuat di kota-kota bagian selatan negara ini merupakan kekuatan politik yang terus tumbuh tapi dengan dukungan urban.
Ada kesadaran ekologis yang lebih kecil di luar kota-kota utama tersebut. Ilustrasi sederhana berasal  riset saya sendiri di Arembepe (negara bagian Bahia), sebuah kota perikanan atlantik yang saya pelajari sejak 1962 (Kottak 1999). Sejak awal 1970an, Arembepe menderita polusi air dan udara dari pabrik titanium dikosida yang dimiliki secaramultinasional di sekitarnya. Dalam tiga dekade, polusi kotamadya Arembepe tumbuh sepuluh kali lipat dari sebuah kota pedalaman yang tidur menjadi pusat industir utama (petrokimai). Polusi kimia dari arus, sungai dan perairan pantai daerah ini sekarang membahayakan kehidupan alam dan orang-orangnya.
Seperti orang lain di kota ini, orang-orang Arembeperios menghadapi resiko nyata polusi industri terhadap udara, air bersih dan lautan. Beberapa kali para pelapor dari metorolis salvador mengungkapkan polusi kimai dari laguna air tawar dan perairan pantai di Salvador. Sebagian besar penduduk desa melihat laporan tersebut di TV. Namunkesadaran lokal akan ancaman lingkungan nyata belum menigkat secepat bahaya tersebut. Sehingga dengan berjalan di sepeanjang pantai Arembepe pada 1985 saya menemui anjing laut mati setiap beberapa yard. Ada ratusan burung yang mati. Saya melihat burung tersebut mengapung di pantai. Saya begitu terkejut tapi penduduk lokal tidak terlalu memperhatikan hal ini. Ketika saya mencari penjelasan orang-orang tersebut hanya berkata “buruk itu sakit.” Baik orang Arembepeiros ataupun para ilmiah seperti Salvador bisa memberikan penjelasan yang mendetail tentang kematian burung itu. Seperti orang-orang brazil lainnya, orang-orang Arembepeiros nampak lebih memperhatikan ancamanluar daripada ancaman lokal.
Di Brazil, ancaman lingkungan yang diterbitkan secara nasional meliputi kecelakaan radiaoktif cesium di Goiania, degradasi hutan hujan Amazon, pembunuhan pemimpin tenaga kerja yang berorientasi ekologis Chico Mendes, dan efek-efek ekstraksi emas, jalan raya dan konstruksi, dan intrusi-intrusi lain sistem dunia atau orang-orang pribumi dan lahan mereka. Media melaporkan tentang resiko-resiko yang ditimbulkan oleh merkuri di sungai, polusi industri dan  pembuangan air limbah yang buruk.
Meski kesadaran lingkugann orang Brzil tumbuh, catatan-catatan media mengikuti pimpinan internasional yang berfokus pada Amazon sebagai kawasan yang terancam. Data level komunitas yang kami kumpulkan di beberapa tempat menunjukan deforestasi Amazon merupakan isu ekologis non lokal.
Meski media Brazil semakin sering mengulas kondisi lingkungan mereka, ada sedikit bukti meningkatnya kesadaran dan aktivitas ekologis di level lokal, khususnya diantara orang-orang dari kelas bawah. Aktivitas ini kemungkinan dimulai oleh NGO dan para politisi daripada oleh para komunitas yang terancam. Penelitian saya di Brazil dan Madagaskar meyakinkan saya bahwa orang-orang tidak akan bertindak melestarikan lingkungan jika mereka tidak merasakan ancaman. Mereka juga harus memiliki alasan yang bagus untuk mengambil tindakan untuk mengurangi ancaman lingkungan. Mereka juga memerlukan cara-cara dan kekuatan untuk melakukannya. Persepsi resiko saja tidak menjamin organisasi dan tindakan lingkungan.

NGO dan gerakan-gerakan menutut HAK
Perkembangan organisasi-organisasi non pemerintah di seluruh dunia menjadi trend utama dari organisasi politik abad dua puluh akhir. Perkembangan ini layak mendapatkan perhatian antropologi ekologi baru karena banyak NGO mucul di sekitar isu hak-hak dan lingkungan. Selama dekade sebelumnya alokasi bantuan internasional untuk pembangunan (termasuk konservasi dan pembangunan) secara sistematis meningkatan dana yang diberikan kepada NGO yang menjadi menonjol sebagai pendorong perubahan sosial.
Dalam komunitas pembangunan (misalnya Bank Dunia, USAID, UNDP) secara luasdiasumsikan bahwa strategi menyalurkan dana ke NGO (PVO dan GRO akan memaksimalkan keuntugan langsung bagi penduduk sekitar. NGO umumnya dipandang lebih responsif terhadap keinginan lokal dan lebih efektif dalam mendorong paritispasikomunitas daripada pemerintahan yang otoritarian dan totalitarian. Meski demikain strategi ini semakin banyak dikritik karena dalam kasus-kasus tertentu menyebabkan benturandengan otoritas pemerintah yang ada. Ada isu nyata neokolonialisme ketika diasumsikanbahwa NGO dengan kantor pusat di Eropa atau Amerika Utara merupakan representatif yang lebih baik dairpada orang-orang yang dipilih oleh pemerintah.
Kemunculan dan persebaran internasional dari gerakan hak-hak (manusia, kultural dan binatang) juga menjadi minat antropologi ekologi. Ide hak-hak asasi manusia menentang negara-bangsa dengan menimbulkan bidang keadilan dan moralitas di luar dan lebih unggul daripada negara-negara, kultur-kultur dan agama-agama tertentu. HAM sering dipandang sebagai tidak bisa dipisahkan dan besifat metakultural. Hak-hak kultural berlaku pada unit-unit di dalam negara. Hak-hak kultural ditanamkan bukan dalam indvidu tapi padakelompok-kelompok yang bisa diidentifikasi seperti minoritas etnis dan agama dan masyarkat pribumi. Hak-hak kulutral meliputi kemampuan untuk melestraikan kulturnya, untuk membesarkan anak-anak mereka dengan cara-cara sebelumnya untuk meneruskanbahasanya dan untuk tidak dijauhkan dari dasar ekonmi mereka. Greaves (1995) menyebutkan bahwa karena hak-hak kultural terutama tidak dikodifikasi, realisasi mereka harus mengandalkan pada mekanisme yang sama yang menciptakan mereka tekanan, publikasi dan politik. Hak-hak tersebut ditekan oleh gelombang ketegasan politik di seluruh dunia, di mana media dan NGO berperan dominan.
Gagasan hak kekayan intelektual pribumi (IPR) muncul untuk melestarikan basis kultural setiap keyakinan masyarakat dan prinsip utamanya, terasuk etnoekologinya. IPR dianggap sebagai hak kelompok, sebuah hak kultural yang memungkinkan kelompok-kelompokpribumi mengontrol siapa yang boleh mengetahui dan mengunakan pengetahuan kolektif mereka dan aplikasinya. Banyak pengetahuan kultural tradisional memiliki nilai komersial. Contoh-contohnya antara lain etnomedisin (pengetahuan dan teknik pengobatan tradisional), kosmetika, tumbuhan yang dibiakkan, makanan, folklor, seni, kerajinan, lagu, tarian, kostum dan ritual. Menurut konsep IPR, grup tertentu boleh menetukan  bagaimana pengetahuan dan produk-produk pribumi bisa digunakan dan didisribusikan dan tingkat kompensasi yang dibutuhkan

Rasisme lingkungan
Isu yang menarik bagi antropologi ekologi baru sangat banyak tapi yang terakhir saja yang akan disebutkan; rasisme lingkungan. Ini merupakan bentuk diskriminasi institusional di mana program, kebijakan dan susunan institusional menyangkal hak-hak dan peluang-peluang yang sama dengan membahayakan para anggota kelompok tertentu. Bunyan Brayn dan Paoul Mohai mengartikan sistem lingkungan sebagai penggunaan sistematik kekuatan institusional orang-orang kulit putih untuk merumuskan keputusan-keputusan kebijakan yang akan menyebabkan beban resiko lingkungan yang tidak adil terhadap komunitas minoritas. Sehingga limbah beracun cenderung ditempatkan di area-area tanpa populasi kulit putih.
Rasisme lingkunngan bersifat diskriminatoris tapi tidak selalu sengaja. Kadang-kadanglimbah beracun sengaja dibuang di area-area penduduk yang dianggap tidak mungkin memprotes.

 Metodologi dalaM Antropologi Ekologi baru
Antropologi ekologi baru bisa digambarkan dalam serangkaian metode penelitian teknologi tinggi. Pencitraan satelit (yang digunakan secara sinkronis atau diakronis) telah digunakan untuk menentukan hotspot ekologis (misalnya area-area deforestasi atau polusi) yang sudah diselidiki di lapangan oleh beberapa tim multidisipliner. GIS dan pendekatan-pendekatan lain bisa digunakan untuk memetakan berbagai jenis data tentang ciri-ciri lingkungan dan manusia. Software macroscope yang dikembangkan oleh J Stephen Lansing dan kawan-kawan membantu pemetaan pada layar komputer  atas berbagai jenis informasi seperti hasil-hasil di persawahan bali dalam kaitannya dengan kerusakan serangga dan praktek-praktek pertanian data survei bisa diambil di antara ruang dan waktu dan dibandingkan meski demikian ketersediaan metode-metode tenologi tinggi tersebut tidak mendorong kami menjauh dari fokus khas antropologi terhadap orang-orang.
Yang juga relevan bagi antropologi ekologi baru adalah metodolgi silsilah, yang dielaborasikan oleh Kottak dan Colson (1994),. Sebagaimana disebutkan oleh Elizabeth Colson dan saya, para antroplog semakin mengembangkan model-model subyek mereka sendiri yang bersifat isomorfik dengan struktur dunia mdoern, termasuk berbagai hubungan regional, nasonal dan internasional di dalamnya. Kami menggunakan istilah metodologi hubungan untuk menjelaskan berbagai proyek riset multi waktu, multi tempat dan multi level. Definisi hubungan dalam kaitannya dengan metodologi riset dan isinya merupakan tujuan dari kelompok kerja para antropolog yang bertemu pertama kali pada 1986. Kita semua memperhatikan dampak kekuatan internasional dan nasional, termasuk proyek-proyek pembangunan terhadap orang-orang lokal dalam riset kami. Sebagian besar anggota Linkages Group (demikian nama kelompok kami) telah bekerja lebih dari satu kali di satu kawasan yang sama. Kami mengetahui keuntungan mengawasi bagaimana orang-orang merespon terhadap peluang-peluang yang berbeda pada beberapa tahap kehidupan mereka.
Kami mengakui nilai dari sampel-sampel riset yang bisa ditindak lanjuti. Jenis-jenis hubungan apa yang mereka miliki bersama orang lain, termasuk agen-agen eksteral? Lini penyelidikan ini mencakup sebuah pendekatan sensus, sebuah pendekatan jaringan (untuk melacak hubungan yang berkaitan dengan mobilitas geografis dan intervensi-intervensi eksternal) plus teknik survei dan etnografi. Pendekatan silsilah terhadap perubahan juga perlu memperhatikan peran organisasi pemerintah dan non pemeritnah dan perubahan pada sistem marketing, transportasi dan komunikasi.
Satu metode riset silsilah adalah mempelajari sebuah tempat atau beberapa tempat secara periodik. Metode lainnya adalah perbandingan interkomunitas sistematik yang memerlukan tempat-tempat ganda yang dipilih karena berbeda-beda menurut kriteria utama mereka. Tempat-tempat tersebut bisa diambil dari kawasan yang sama dan data yang dikumpulkan akan menjadi bagian dari studi yang sama. Mereka bisa juga berasal dari tempat-tempat yang berbeda. 
Riset hubungan ini direncanakan sebagai proses terus-menerus yang memerlukan kejra tim. Waktu dan personel diperlukan untuk mengamati populasi yang tersebar, untuk mempelajari tempat-tempat yang berbeda, untuk melakukan wawancara pada banyak level, untuk menyidiki arsip dan catatan, dan melakukan studi-studi follow up. Keterlibatankolega dari negara inang, termasuk asisten lokal dan penduduk komunitas lainnya merupakan kunci bagi kontinuitas. Hubungan juga merujuk pada kerjasama oleh orang-orang dengan kepentingan riset yang sama dalam upaya menghasilkan sumber data
Satu contoh metodologi hubungan adalah riset yang saya lakukan di Brazil tentang industrialisasi dan ekspansi komersial, yang berfokus pada resiko lingkungan dan perspesi resiko. Investigasi ini dilkaukan pada dua level: 1) nasional – Brazil secara keeluruhan di mana pemerintah menggunakan kebijakan indusrialisasi pada awal 1960an, dan 2) lokal – di antara berbagai tempat yang terpapar pada resiko secara berbeda. Desain riset lapangan merupakan perbandingan interkomunitas sitematik (berdasarkan pada data kualitatif dan kuantitatif). Metodologi ini menambah level analitis terhadap analisis resiko tradisional yang mempelajari populasi-populasi yang terpapar langsung ke resiko lingkungan seperti repositoris nuklir. Dengan desain riset tersebut, reaksi-reaksi publik terhadap sebuah ancaman ditafsirkan dalam sebuah kerangka respon stimulus. Sebaliknya, desain kami berasumsi bahwa variasi dalam kesadaran lingkungan dan persepsi resiko bisa dipahami lebih akurat dengan mempelajari beragam tempat yang terpapar ke resiko-resiko yang berbeda. Perbandingan bersifat penting. Pendekatan yang terbatas padakelompok-kelompok terancam tidak bisa membantu tapi mencari persepsi resiko terutama sebagai tanggapan terhadap stimulus langsung.
Pendekatan hubungan (diringkas dalam tabel 1) memberi kepentingan tradisional antropologi dalam perubahan kultural. Akar-akarnya bisa dilacak pada karya sebelumnya termasuk proyek komparatif dan evolusioner skala besar Stward, riset Max Gluckman dan lain-lain yang melakukan analisis kasus tambahan dan pendekatan-pendekatan sistemdunia yang menekankan ketertanaman kultur-kultur lokal dalam sistem-sistem yang lebih besar.
Pendekatan hubungan sepakat dengan teori sistem  tentang apa yang terjadi di dunia saat ini adalah di luar jangkauan perangkat metodologi dan konseptual antropologi. Etnografi tradisional, berdasarkan pada wawancara desa dan observasi partisipan, berasumsi bahwa para informan tahu apa yang terjadi dalam ruang yang terbatas. Saat ini tidak ada informan yang bisa menyuplai semua informasi yang kita inginkan. Orang-orang lokal mungkin tidak menjadi korban yang tak berdaya dari sistem dunia tapi mereka tidak bisamemahami secara penuh semua hubungan dan proses yang mempengaruhi mereka.
Bukan saja antropologi ekologi lama tapi juga etnografi tradisional secara aumum juga mendukung ilusi kelompok-kelompok perawan, independen dan terisolasi. Sebaliknyapendekatan hubungan menekankan ketentraman komutnias dalam sistem-sistem ganda dari skala yang berbeda. Orang-orang lokal mengambil petunjuk bukan dari para tetangga dan kerabat tapi dari banyak orang asing baik secara langsung atau melalui media. Riset hubungan menggabungkan analisis multilevel, perbandingan sistematik dan studi longitudinal. Dengan menentang tradisi etnografer tunggal, metodologi hubungan mengembangkan proyek-proyek tim komparatif skala besar. Idealnya riset diatur sehingga ketika kekuatan-kekuatan baru muncul pada kawasan studi, mereka bisa diuji menurut efek-efek diferensial mereka terhadap popualsi riset yang diketahui. Dengan menangani transformasi sosial, perspektif hubungan mempertimbangkan tekanan-tekanan eksogen ke arah perubahan dan dinamika internal kultur internal. Tidak seperti antropologi ekologi lama (dan antropologi sosiokultural tradisional secara umum), proyek-proyek hubungan mempelajari proses yang terlibat dengan sejarah, mempertimbangkan peran kekuatan ekonomi dan politik dan secara sistematis mempertimbangkan umpan balik di antara institusi lokal, regional dan ansional. Meski demikian metodologi hubungan masih memerlukan sebuah dasar dalam kerja lapangan.

Menempatkan orang-orang, dan Antropologi di tempat pertama
Sementara mengenali bahwa sistem-sistem lokal dan regioan bersifat permeabel hubungan kekuasaan dan kontak merupakan ciri utama adaptasi ekologis, antropologi ekologi baru harus berhati-hati untuk tidak mengeluarkan orang-orang lokal dan bentuk-bentuk kultural dan sosial lokal mereka dari kerangka analitis. Kami harus memperhatikan spesifik kultur lokal dan struktru sosial resmi orang-orang dalam seting tertentu menghadapi problem umum yang disebabkan oleh ekspansi sistem dunia. Untukmenjelaskan pentingnnya kekhususan lokal dan menggunakan perspektif antropologi yangberbeda, saya akan kembali ke analisis sosial yang saya lakukan dan rekomendasi yang saya buat untuk proyek USAID SAVREM yang bertujuan untuk konservasi biodiversitas dalam lima area di madagaskar. Untuk memaksimalkan kemungkinan suskes, desain sosial proyek untuk perubahan didirikan dalam bentuk-bentuk sosial tradisional di setiap area target.
Pulau besar Madgaskar mencirikan sebuah keragaman kultural dan ekologis yang cukup besar, ukuran dan karakteristik kelompok-kelompok yang terdampak terebut berbeda-beda menurut tipe adaptasi ekologis manusia, dari kawasan ke kawasan dan bahkan dalam area-area terlindung atau area suaka. Poroyek ini memilih desain spesifik tempat, yang mengakui bahwa kelompok yang terdampak ada diberbagai level dan di beberapa kawasan yang berbeda. Para anggota tim desain proyek mengunjungi lima area terlindung: kompleks Pegunungan Amber, Beza Mahafaly, Ranomafana, Andringitra, dan Andohahela. Karakteirsitk social dari setiap area dipetakan untuk dimasukkan dalam desain proyek. Untuk menyederhanakan, saya akan menjelaskan jenis-jenis kelompoksosial yang berbeda yang diketahui terlibat dalam proyek ini selama empat tahun
Ekonomi Tanosy tradisioal cukup beragam dengan lahan-lahan padi yang beririgasi. Akar dan umbi-umbian (kentang manis, taro manic) juga ditanam. Ternak merupakan fokus laindari ekonomi Tanosy tradisional dan menjadi minat kultural yang sangat besar.
Dalam menerapkan proyek ini, personel proyek harus memahami kontras antara struktur formal dan informal diantara struktur-struktur dan kantor-kantor negara dan diantara organisasi sosial tradisional. Yang terakhir ini lebih sering berguna daripada yang pertamatujuan-tujuan proyek. Sehingga preisen fokntay (kelompok desa), kantor pemerintah yang ditemukan di seluruh madagaskar, merupakan pejabat dan adminstrator terpilih, otoritasnya berbeda-beda dari setiap tempat. Para tokoh otoritas tradisional seringkali lebih penting daripada presiden fokontany. Dalam fokontany tersebut dimana satu kelompok kohesif mendominasi, orang-orang yang dipilih kadang-kadang orang yang memiliki sedikitotoritas nyata. Dia adalah alat bagi kekuasaan yang lebih besar bagi para tetua kelompok. Dia diharapkan menjadi agen mereka.
Baik tanosy dan Tandroy memiliki kelompok keturunan yang kuat.  Kepala kelompokketurunan penting dalam menerapkan proyek ini di Andohahela. Para kepala kelompok keturunan ini harus memberi izin terhadap proyek sehingga memaksimalkan kerjasama seluruh kelompok.struktur kelompok keturunan bisa digunakan untuk menyalurkan keuntungan dan menyebar informasi. Seluruh kelompok etnis yang ada di Andohahela memiliki jenis struktur dan pemimpin ini. Departemen Kehutanan Nasional menggunakan mereka untuk mendistribusikan benih dan mendapatkan kerjasama dengan program penanaman pohonnya.

Pegunungan Amber
Area disekitar Diego Suarez di Madagaskar utara adalah rumah tradisional bagi Tankarana (Antan-Karana). Seperti Taosy di dekat Andohahela dan Tanala di dekat Rabnomafana, Tankarana tidak meluas. Area ini merupakan salah satu imigrasi bukannya emigrasi. Tankarana nampak tertahan di daratan pegunungan mereka di Ankarana, di mana pangeran mereka (mpanjaka) masih hidup, mengadili, dan mengepalai upacara diibukotannya Ambilobe. Di sebuah negara seperti Madagaskar, di mana banyak orang Asing ditipu oleh klaim para pangeran palsu, ini meurpakan pangeran yang nyata dan efektif. Proyek harus memperhatikannya, para asistennya, data kebiasaan mereka dan upacara-upacara mereka dalam mengimplementasikan proyek ini. Untungnya staf WWF Pegunungan Amber peduli untuk menerapkan proyek ini sesuai dengan budaya setempat.
Semua area Madagaskar memiliki para pemilik tradisional yang disebut tampotany para tuan tanah. Tankarana adalah tampotany untuk area Diego Suarez. Yang juga penting adalah Anjoasty (sebuah grup spesialis spiritual-ritual yang mobile dengan ikatan-ikatan tradisional dengan sebuah versi informal Islam dan pelabuhan-pelabuhan di pantai timur). Anjiasty memiliki otiritas spirtual di AMbohitra (Amber Montain proper). Staf WWF meminta seorang mpijoro Anjoatsy (pendeta) untuk memberkahi taman ini dalam sebuahupacara tradisional demikian juga di Ankaraan, WWS menuliskan bantuan pangeran dan kekuasaan ritual ankarana tradisional untuk meningkatkan kerjasama dnegan para agen proyek.
Ada para imigran di seluruh area kompleks pegunungan Amber. Mereka meliputi Merina, Betsilo, orang-orang dari pantai tenggara (Taimoro Taisaka, Zaisoro dll). ada juga Sakalava, Tsimihet, dan Comorians. Selama beberapa generasi ini menjadi area perdagangan pantai (meluas ke Comoro dan pantai Afrika Timur), kontak-kontak antar etnis dan percampuran. Kota Joffreville merupakan mikrokosmos ketentraman etnis yang ada di kawasan ini. Meski tidak memiliki kelompok keturunan kami mengidentifikasi beberapa asosiasi etnis, religius dan aliran yang bisa digunakan dalam implementasi proyek dan orang-orang masih menjunjung otoritas ritual leluhur tomtany dan para pendeta mereka.
Analisis spesifik tempat dan rekomendasi-rekomendasi untuk proyek pengembangan dan konservasi ini menjelaskan bahwa analisis bentuk-bentuk sosial tersebut tidak boleh disubordinasi pada pendekatan-pendekatan yang menekankan lingkungan dan mengorbankan kultur dan masyarakat, dan ekologi atas antropologi. Orang-orang harus diutamakan. Para antropolog kutural perlu ingat keunggulan masyarakat dan kultur dalam analisis mereka dan tidak terpaku pada data ekologis saja. Sumber-sumber pendanaanyang memberi prioitas pada sains kasar, mendanai peralatan mahal dan mendukung teknologi canggih tidak boleh menjauhkan kita dari fokus terhadap kekhususan budaya danvariabel sosial dan kultural. Para antropolog ekologi harus mengutamakan antropologi daripada ekologi. Kontribusi antropologi adalah mengedepankan orang-orang daripada tumbuhan, binatang dan tanah.

 kesimpulan
Seorang paleontolog AS ROmer (1960) mengembangkan aturan yang sekarangmembawa namanya untuk menjelaskan evolusi vertebrata penghuni daratan dari ikan. Para leluhur binatang darat tinggal dalam kolam air yang mengering setiap musim. Sirip berevolusi menjadi kaki agar binatang tersebut bisa kembali ke air ketika kolam-kolam air tertentu mengering. Sehingga inovasi  kaki yang kemudian terbukti penting bagi kehidupan darat bertujuan untuk memelihara kehidupan di dalam air. Pelajaran ROmer penting bagi antroplogi ekologi lama dan baru adalah inovasi yang berkembang untuk memelihara sebuah sistem bisa berperan penting dalam mengubah sistem tersebut. Evolusi terjadi secara bertahap. Sistem-sistem mengambil serangkaian langkah kecil untukmempertahankan diri dan secara bertahap berubah. Rappaport mengakui pelajaran Romer dalam definisnya tentang adaptasi: proses-proses di mana organisme atau kelompokorganisme mempertahankan homoeostatiss dalam dan di antara mereka dalam menghadapi fluktuasi lingkungan jangka pendek dan perubahan-perubahan jangka panjang.
Aturan Romer bisa diterapkan pada perkembangan sebagai proses evolusi sosio ekonomi (direncanakan). Dengan menerapkan aturan Romer dalam perkembangan, dan terhadap inisiatif yang berorientasi pada ekologi, kita menduga orang-orang akan menolak kproyek-proyek yang menuntut perubahan besar dalam kehidupan sehari-hari mereka khususnya yang mengganggu upaya subsistensi. Orang-orang biasanya ingin berubah hanya untuk menjaga apa yang mereka miliki. Motif-motif untuk memodifikasi perilaku berasal dari kultur tradisional dan perhatian kecil terhadap kehidupan biasa. Nilai-nilai petani tidak seabstrak “mempelajari cara yang lebih baik” “meningkatkan pengetahuan teknik”, “melestarikan biodiversitas” atau membuat dunia aman bagi demokrasi”. Malahan tujuan-tujuan mereka lebih membumi dan spesifik. Orang-orang ingin meningkatkan hasil produksi padinya, mampu menyekolahkan anak-anak, atau mampu membayar pajak. Tujuan dan nilai produsen subsistensi bisa berbeda dari orang-orang yang memproduksidemi uang, hanya karena mereka berbeda dari filsafat intervensi para perencana pembangunan. Sistem-sistem nilai yang berbeda harus dipertimbangkan selama perencanaan.
Ini merupakan satu cara untuk mengatakan bahwa para antroplog tidak boleh melupakan kultur dan orang-orang ketika mereka menangani kompleksitas, perbandingan dan perubahan. Perubahan selalu berlangsung di depan struktur-struktur sebelumnya suatu warisan sosioultural. Arah dan sifat dari perubahan selalu dipengaruhi oleh materi organisasi yang dimiliki ketika perubahan berlangsung. Sehingga cara-cara kultural tidak boleh dianggap sebagai cek kosong di mana lingkungan atau sejarah bisa ditulis secara bebas dan mekanis.

perangkap involusi_H setiadi

Involusi awalnya merupakan konsep yang digunakan oleh para antrhorolog dalam meneliti suatu bentuk kesenian. Mula-mula Geertz (1976) menggunakannya sebagai alat analitik tanpa membebaskan diri dari arti kiasan dan perbandingan. Dalam konsep involusi pertanian Geertz melihat proses perubahan-perubahan yang terjadi tidak terlepas dari lingkungan dalam sebuah sistem. Geertz melihat involusi bukan saja dalam dunia pertanian akan tetapi pada dunia industri dan perdagangan. Intinya yang diperhatikan adalah proses perubahan ekologinya. Perubahan yang dimaksud dalam involusi adalah perubahan yang tidak terlepas dari pendekatan ekologis, dimana dalam sebuah ekosistem terdapat komunitas-komunitas dan biota-biota yang saling berhubungan dan saling ketergantungan (Geertz, 1976:3).
Involusi pertama kali digunakan oleh Alexander Goldenweiser seorang antrhopolog dari Amerika untuk melukiskan pola kebudayaan yang sudah tidak berkembang lagi, karena terjadinya pemadatan ke dalam. Konsep Involusi digunakan oleh Geertz untuk menggambarkan keadaan dan sistem pertanian yang menurutnya mengalami perkembangan pemadatan, karena hampir seluruh jumlah pertambahan penduduk diserap oleh sektor pertanian, sehingga beban sektor pertanian semakin berat. 
Teori involusi Geertz merupakan sintesis dari Teori Ekologi Budaya Julian Steward yang penekanannya pada inti kebudayaan yang meliputi pola-pola sosial, politik, dan agama (Dalam Geertz, 1976:7). Selanjutnya Steward dalam Geertz (1976:6) dengan tegas membatasi pengetrapan konsep dan asas ekologi itu pada aspek-aspek tertentu saja dari kehidupan sosial dan kebudayaan manusia yg benar-benar cocok, bukan pada seluruh kehidupan manusia secara luas dan besar-besaran. Lebih luas lagi ecological perspective menekankan tentang “......specifically on how things fit together, how they adapt to one other. Adaptation is a dynamic procces between people an their environments as people grow, achieve competence, and make contribution to others” (Greif, 1986, at Dubois at all). Ekologi perspektif menekankan tentang bagaimana sesuatu bisa survive bersama, dan bagaimana mereka menyesuaikan diri satu sama lain. Adaptasi merupakan proses dinamis antara orang dengan lingkungannya seperti halnya seseorang berkembang, berkompetisi dan memberikan kontribusi satu sama lain.
Adaptasi sebagai asumsi dasar dari teori ekologi juga diutarakan Hawley dalam Turner (1998:100) sebagai berikut :
1) Adaptation to environment proceeds through the formation of a system of interdependencies among the members of a population. 2) System development continues, other things being equal, to the maximum complexity afforded by the existing facilities fo tramsportation and communication. 3) System development is resumed with the introduction of new information that increases the capacity for movement of materials, people, and massages and continues until that capacity is fully used.

Asumsi di atas menekankan tentang proses adaptasi terjadi dari adanya saling ketergantungan antar anggota dalam sebuah sistem, dan sistem tersebut dapat berkembang dari perolehan informasi baru yang dapat meningkatkan kapasitas anggota sistem dan pertukaran informasi serta sumber/material yang dibutuhkan. Dalam konsep involusi penekananya adalah melihat bagaimana sistem berkembang dan berubah (perubahan dan perkembangan sistem). Akan tetapi yang perlu diperhatikan dalam konsep involusi bahwa perubahan yang dimaksud adalah perubahan yang mengarah pada kemerosotan-kemerosotan dalam sebuah sistem.
Ciri utama involusi menurut Geertz (1976:xxviii) adalah “tumbuh kedalam”, bukan mekar dan merubah diri, sehingga akan menjalar pada pada bidang-bidang lain dalam sebuah sistem. Menurut Alexander Goldenweiser dalam Geertz (1976:88) adalah untuk melukiskan pola-pola kebudayaan yang sudah mencapai bentuk yang nampaknya telah pasti tidak berhasil menstabilkannya atau mengubahnya menjadi suatu pola baru, tetapi terus berkembang ke dalam sehingga semakin rumit. Dalam konsep involusi, perubahan-perubahan yang dilihat adalah perubahan pola-pola kehidupan dalam sebuah masyarakat diantaranya : a) Perubahan Struktur Masyarakat; b) Pelapisan (strata) Masyarakat; c) Pola hubungan, baik keluarga maupun lingkungan sosial; dan d) Pola kepercayaan. 
Menurut Geertz (1976:106) proses involusi selain pada segi hak tanah dan penggunaan tanah, proses involusi itu juga mempengaruhi segi distribusi dengan polanya yang khas “pola perubahan yang tak berubah” itu. Asumsinya dengan jumlah penduduk yang tetap terus meningkat itu, datang juga penjelimetan dan penyambungan mekanisme yang dilalui oleh produk pertanian itu tersebar luas ke segenap massa manusia yang harus hidup dari produk itu secara merata, atau sekurang-kurangnya relatif rata. Dengan mempertahankan homogenitas sosial dan ekonomis yang cukup tinggi dengan membagi-bagikan rezeki yang ada, hingga semakin lama makin sedikit sekali yang diterima oleh masing-masing anggota masyarakat. Proses involusi ini oleh Geertz (1976:106) dalam karangan lain disebut sebagai proses “shared poverty”. 
Kondisi semacam ini masyarakat akan menjadi lamban dalam melakukan perubahan, atau setidak-tidaknya apabila mengalami pergerakan lebih bersifat pergerakan di tempat yang kurang membawa kemajuan yang berarti. Kondisi ini yang disebut sebagai proses “involusi” yang apabila terjadi dalam masyarakat pertanian disebut “involusi pertanian” (Geertz dalam Soetomo :114). Untuk keluar dari masalah involusi, diperlukan induksi dari luar yang diharapkan dapat mengatasi masalah tersebut. (Soetomo :114).

Penulis mecoba menggunakan teori involusi Geertz dalam melihat sebuah kemiskinan didaerah perkotaan. Kemiskinan yang kian membelit menjadi peangkap dalam sebuah perubahan wilayah dari daerah pertanian menjadi daerah perkotaan. Kondisi tersebut yang kemudian memaksa sebuah komunitas untuk merubah pola kehidupannya dan struktur masyarakatnya. Penelitian ini penulis lakukan di daerah Sumedang pada Agustus 2009 sampai dengan mei 2010. Dari hasil penelitian tersebut penulis berusaha merancang dan mengimplementasikan model intervensi dalam upaya pengembangan masyarakat dalam sebuah penelitian Action Research. Hasil Penelitian tersebut tersusun dalam sebuah Tesis dengan Judul Model Pengelolaan Sumber pada Masyarakat yang Mengalami Involusi. 

Bahan Bacaan :

Geertz, Clifford. (1976). Involusi Pertanian, Proses Perubahan Ekologi di Indonesia, Jakarta : Bhratara Karya Aksara. 

Soetomo. (2008). Strategi-strategi Pembangunan Masyarakat, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
__________, (2009). Pembangunan Masyarakat ; Merangkai Sebuah Kerangka, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.